Membaca Kasih Sayang Allah
“Dan
Dia (Allah) Telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang
kamu mohonkan kepadaNya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah,
tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat
zalim lagi sangat mengingkari (kufur nikmat)“. (Ibrahim: 34)
Membaca
merupakan perintah pertama Allah dalam Al-Qur’an yang ditujukan
langsung kepada manusia pilihan-Nya, Rasulullah saw. melalui wahyu
pertama ‘Iqra’ (bacalah) dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan’
(Al-Alaq: 1). Membaca di sini harus difahami dalam arti yang luas
karena memang objek membaca dalam wahyu pertama tersebut tidak dibatasi
dan tidak ditentukan; Bacalah! Berarti beragam yang layak dan harus
dibaca. Salah satu objek terbesar yang harus dibaca adalah kasih sayang
Allah swt. yang terhampar di seluruh jagat raya ini tanpa terkecuali.
Semuanya adalah bukti dan tanda kasih sayang Allah swt. untuk seluruh
makhluk ciptaan-Nya.
Untuk itu, ayat di atas hadir
untuk mengingatkan manusia akan kasih sayang Allah swt. yang memberikan
segala yang dibutuhkan, sekaligus merupakan perintah untuk senantiasa
membaca karunia tersebut agar tidak termasuk orang yang zalim, apalagi
kufur nikmat seperti yang disebutkan di kalimat terakhir ayat tersebut
di atas ‘Sesungguhnya manusia itu sangat zhalim lagi sangat ingkar nikmat.’
Tentu,
ayat ini tidak berdiri sendiri seperti juga seluruh ayat-ayat Al-Quran.
Setiap ayat memiliki keterkaitan dan korelasi dengan ayat sebelum atau
sesudahnya yang menunjukkan wahdatul Qur’an kesatuan dan
kesepaduan ayat-ayat Al-Qur’an, termasuk ayat di atas ini harus dibaca
dengan mengkorelasikannya dengan dua ayat sebelumnya yang menggambarkan
sekian banyak dari nikmat Allah swt. yang harus dibaca dengan penuh
kesadaran:
“Allahlah
Yang telah menciptakan langit dan bumi serta menurunkan air hujan dari
langit, Kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai
buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia pula telah menundukkan
bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan
kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan
Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus
menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan
siang.” (Ibrahim: 32-33)
Ayat yang senada
dengan ayat di atas dalam bentuk tantangan Allah kepada seluruh
makhluk-Nya sekaligus perintahNya untuk membaca hamparan karunia
nikmat-Nya yang tiada terhingga adalah surah An-Nahl: 18
“Dan
jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat
menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.”
Dalam penutup ayat ini
Allah swt. hadir dengan dua sifat yang merupakan puncak dari kasih
sayang-Nya, yaitu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.
Ibnu Katsir mengungkapkan penafsirannya dalam kitab Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim
bahwa selain dari perintah Allah untuk membaca nikmat Allah, pada masa
yang sama merupakan sebuah pernyataan akan ketidak berdayaan hamba Allah
swt. dalam menghitung nikmat-Nya, apalagi menjalankan kesyukuran
karenanya, seperti yang dinyatakan oleh Thalq bin Habib:
“Jika kalian bersyukur maka akan Aku tambahkan nikmat-Ku kepadamu.” (Ibrahim: 7)
Di sini kesyukuran justru diuji apakah dapat membuahkan kenikmatan yang lain atau malah sebaliknya, menghalangi hadirnya nikmat Allah swt. dalam bentuk yang lainnya.
Ternyata memang mega proyek Iblis terhadap manusia adalah bagaimana menjauhkannya dari kasih sayang Allah swt. sehingga mereka senantiasa hanya membaca ujian dan cobaan yang menimpanya agar mereka tidak termasuk kedalam golongan yang mensyukuri nikmat-Nya. Padahal secara jujur, kasih sayang Allah swt. dalam bentuk anugerah nikmat-Nya pasti jauh lebih besar daripada ujian maupun sanksi-Nya. Di sini, kelemahan manusia membaca nikmat merupakan keberhasilan proyek iblis menyesatkan manusia. Allah menceritakan tentang proyek Iblis dalam firman-Nya:
“Iblis menjawab: “Karena Engkau Telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.“ (Al-A’raf: 16-17)
Dalam konteks ini, sungguh usaha dan kerja Iblis tidak main-main. Ia akan memperdaya manusia dari seluruh segmentasi dan celah kehidupannya tanpa terkecuali. Dalam bahasa Prof. Mutawalli Sya’rawi, “Syaitan akan datang kepada manusia dari titik lemahnya (ya’tisy Syaithan min nuqthah dha’f lil insan).” Jika manusia kuat dari aspek harta, maka ia akan datang melalui pintu wanita. Jika ia kuat pada pintu wanita, ia akan datang dari pintu jabatan dan begitu seterusnya tanpa henti. Sehingga akhirnya hanya segelintir manusia yang akan selamat dari bujuk rayu syetan dan menjadi pribadi yang bersyukur. Allah swt. pernah berpesan kepada Nabi Daud dan keluarga-Nya agar mewaspadai hal tersebut dalam firman-Nya:
“Bekerjalah Hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih (bersyukur).“ (Saba’: 13)
Memang hanya sedikit sekali yang cerdas dan bijak membaca kasih sayang Allah swt. Selebihnya adalah manusia yang suka berkeluh kesah, mengeluh dan tidak bersyukur atas karunia nikmat yang ada. Bahkan kerap menyalahkan orang lain, su’uzhan dan berprasangka buruk kepada Allah. Padahal kebaikan dan pahala sikap syukur itu akan kembali kepada dirinya sendiri, bukan kepada orang lain. Karenanya ujian kesyukuran itu akan terus menyertai manusia sampai Allah benar-benar tahu siapa yang bersyukur diantara hamba-Nya dan siapa di antara mereka yang kufur. ‘Ya Allah, jadikanlah kami termasuk golongan yang sedikit.‘ Allahu a’lam
0 komentar: